Strategi Public Relations di Era AI: Memanfaatkan Teknologi Tanpa Kehilangan Empati dan "Rasa Manusia"

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id – Apa yang terjadi ketika kecerdasan buatan (AI) bersentuhan dengan dunia kehumasan? Apakah mesin akan menggantikan praktisi public relations (PR)? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sorotan dalam webinar “Public Relations in the Era of Artificial Intelligence” yang disiarkan langsung melalui akun Instagram @2n_prnavigation, pada Sabtu (19/7/2025).

Hadir sebagai narasumber utama adalah Dr. N. Nurlaela Arief, MBA., IAPR., Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sekaligus Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas). Beliau mengajak audiens memahami lanskap masa depan PR secara utuh dan membumi.

Mengawali sesi, Dr. Nurlaela atau yang akrab disapa bu Lala ini, berbagi cerita tentang buku yang telah ditulisnya mengenai profesi PR di tengah perkembangan teknologi. Gagasan tersebut muncul setelah pertemuannya di Oslo, Norwegia pada 2018, yang membahas masa depan pekerjaan PR dan pergeseran peran manusia akibat teknologi. Sejak itu, ia pun melakukan riset mendalam untuk memetakan pekerjaan PR di masa depan.

"Dulu kita mengumpulkan kliping dari koran, sekarang kita melakukan social listening, mendengar dan menganalisis percakapan publik secara daring," ujarnya. 

Transformasi PR dari era tradisional ke PR 1.0, 2.0 hingga 4.0 tidak hanya mempercepat pekerjaan, tapi juga menuntut personalisasi yang lebih kuat, menjangkau skalabilitias lebih luas, dapat menyesuaikan dengan segmen audiens dan kebutuhannya.

Lantas, apakah AI akan mengambil alih peran PR? Menurutnya, tidak sepenuhnya. Merujuk pada riset tahun 2024, riset dari Chartered Institute of Public Relations (CIPR) yang berbasis di Inggris, hanya sekitar 30 persen pekerjaan PR yang mungkin tergantikan oleh AI.

Sementara itu, 70 persen sisanya yaitu pekerjaan seperti strategi komunikasi, kreativitas kampanye dan judgement pertimbangan dalam mengambil aksi terkait kehumasan, tetap membutuhkan sentuhan manusia. Riset-riset tentang AI lainnya menyebutkan bahwa perusahaan memandang AI dapat membuat pekerjaan lebih mudah, Bahkan, sekitar 67% persen industri memandang AI sebagai alat peningkat produktivitas, bukan sebagai ancaman, menurut riset Deloitte tahun 2025.

"Sedangkan riset di Indonesia yang kami lakukan, yang berpotensi menjadi ancaman adalah pekerjaan clerical atau teknis paling dasar. Tapi praktisi PR yang mampu scale-up melalui pelatihan, seperti mengikuti berbagai akreditasi dan sertifikasi dari organisasi profesi seperti Perhumas, tetap sangat dibutuhkan,” jelasnya.

Dalam praktiknya, banyak tools berbasis AI kini digunakan oleh profesional PR. Mulai dari social listening tools untuk membaca percakapan netizen, automated task manager, hingga analisis data terstruktur seperti Google Analytics untuk mengevaluasi engagement dan tingkat keterbacaan sebuah konten.

AI juga mulai digunakan dalam mengantisipasi tren media sosial dan membaca potensi krisis komunikasi. 

Salah satu contoh nyata yang beliau ungkapkan adalah ketika ITB menghadapi situasi viral terkait meme mahasiswa FSRD. Dengan dukungan perusahaan rintisan alumni ITB, tim memantau dinamika percakapan publik dan menentukan langkah komunikasi krisis yang bijak. 

"Penting untuk memetakan percakapan dahulu, sejauh mana bisa kita kendalikan, baru membuat pernyataan resmi. Jangan sampai reaktif karena tekanan internal saja," tuturnya.

Meski AI bisa menyusun konten atau memproses data dalam sekejap, beliau menggarisbawahi bahwa pendekatan manusia atau human touch tetap tak tergantikan. “Kita bisa menggunakan AI untuk menyusun brand guideline, tetapi interpretasi visual dan komunikasi langsung tetap lebih optimal dengan human touch,” ujarnya.

Beliau menekankan pentingnya etika dalam penggunaan AI oleh praktisi PR. Teknologi boleh saja membantu mempercepat pekerjaan, tapi tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar komunikasi yang membangun kepercayaan, mengutamakan kebutuhan publik, dan memperhatikan potensi risiko komunikasi.

Dalam situasi tertentu, seperti saat krisis atau urgensi tinggi, penggunaan AI dalam membangun brand awareness bisa dimaklumi. Namun, bila tujuan komunikasi adalah untuk membangun pengaruh dan kepercayaan jangka panjang, maka terlalu bergantung pada AI justru bisa menurunkan tingkat trust audiens.

Melalui diskusi ini, beliau menegaskan bahwa AI bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami dan dimanfaatkan secara bijak. PR adalah profesi yang bukan hanya bicara soal apa yang disampaikan, tetapi bagaimana menyampaikannya dengan empati dan strategi.

"AI bisa meniru kata, tapi tidak bisa meniru rasa, sehingga penting bagi kita tetap membutuhkan human touch," tutupnya.

#public relation #ai