FSRD ITB Gelar Simposium Nasional Pendidikan Anak: Menciptakan Ruang Kreatif Inklusif Melalui Seni, Desain, dan Literasi

Oleh --- -

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id - Menjawab tantangan sistem pendidikan yang masih belum sepenuhnya inklusif, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Kelompok Keahlian Komunikasi Visual dan Multimedia, Desain Komunikasi Visual, menggelar Simposium Nasional Pendidikan Anak melalui Seni, Desain, dan Literasi 2025, pada Sabtu (12/7/2025) di Design Centre, Center of Art, Design, and Language (CADL), ITB Kampus Ganesha.

Acara ini mengusung tema utama “Menciptakan Ruang Kreatif Inklusif”, yang bertujuan menjadi platform strategis untuk bertukar gagasan, praktik baik, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam upaya membangun pendidikan yang adil, ramah, dan memberdayakan semua anak.

Simposium ini terbuka untuk umum dan secara khusus mengundang berbagai kalangan, mulai dari pendidik, guru, dosen, mahasiswa, desainer, penulis, terapis, ilustrator, orang tua, hingga pengambil kebijakan. Dalam suasana kolaboratif, mereka diundang untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi mengenai bagaimana seni, desain, dan literasi dapat berkontribusi besar dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan transformatif.

Simposium ini menghadirkan tiga pembicara utama dengan latar belakang keahlian yang beragam, antara lain:

1. Prof. Endang Rochyadi, M.Pd., Guru Besar dari Fakultas Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia, membawakan makalah bertajuk “Inklusivitas dalam Pendidikan”. Ia menyoroti pentingnya penggunaan seni, desain, dan literasi multimodal sebagai fondasi pembelajaran yang benar-benar inklusif, sekaligus mengkritisi pendekatan integratif yang masih bersifat prosedural.

2. Dr. Riama Maslan Sihombing, M.Sn., S.Sn., Lektor Kepala dan peneliti Desain Komunikasi Visual FSRD ITB, menyampaikan makalah “Merancang Masa Depan Pendidikan Inklusif melalui Ilustrasi Buku Anak dan Kolaborasi Kreatif”. Dalam paparannya, ia mengusulkan pembentukan Creative Hub for Inclusive Education (CHIE), sebuah platform nasional yang mempertemukan ilustrator, seniman, terapis, pendidik, dan orang tua untuk mengembangkan media visual yang mendukung proses belajar anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Dr. Riama Maslan Sihombing, M.Sn., S.Sn., Lektor Kepala dan peneliti Desain Komunikasi Visual FSRD ITB

3. Dr. Eunice Tan, Kepala Program Pendidikan Khusus dari Singapore University of Social Sciences, menghadirkan perspektif internasional lewat makalah “Creating Equitable Opportunities through Art”. Ia membahas pendekatan strengths-based dalam inklusi melalui seni, serta menyoroti inisiatif ART:DIS di Singapura dan potensi artistik dari anak-anak dengan autisme dan savant syndrome sebagai jalur menuju kesejahteraan dan kemandirian.

Ketua pelaksana simposium, Wenny Yoselina, M.Ds., menyampaikan bahwa acara ini bukan hanya forum diskusi akademik, tetapi juga ajang berbagi inspirasi dan aksi nyata untuk memperluas akses pendidikan yang bermakna. “Kami percaya bahwa seni, desain, dan literasi memiliki kekuatan transformatif untuk membuka akses pendidikan yang lebih luas dan inklusif bagi setiap anak. Melalui simposium ini, kami berharap bisa melahirkan kolaborasi nyata untuk membangun ekosistem pendidikan yang benar-benar ramah anak,” ujarnya.

Partisipasi dalam simposium ini datang dari berbagai daerah, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Semarang, Solo, hingga Malaysia. Sebanyak 23 pemakalah mempresentasikan riset dan inisiatif terkait pendidikan inklusif, sementara 21 peserta lainnya berkontribusi melalui poster ilmiah, menampilkan berbagai pendekatan kreatif, mulai dari ilustrasi untuk terapi anak, media belajar interaktif, hingga strategi literasi berbasis visual.

Tak hanya itu, pengunjung juga dapat menikmati pameran karya inklusif dari berbagai lembaga dan komunitas. Pameran ini menghadirkan kontribusi dari PKBM Puspa Terang Nusantara, Art Therapy Center Widyatama, YLPBC Cipaganti, Bina Kasih, Kelas Ilustrasi Buku Anak Kiba_ITB, ilustrator Marsha Natama Pasaribu, Kak Ael dari Tim Tuli Pejuang Bumi Buu, serta dukungan dari penerbit seperti Erlangga dan Bestari.


Sebagai puncak acara, simposium ditutup dengan konser kolaboratif bertajuk “Story and Musical Performance”. Konser ini menghadirkan kolaborasi lintas budaya antara Joy Ensemble (grup musik inklusif dari Singapura) dan Tunas (grup musik dari Subang binaan Bandung Philharmonic Orchestra).

Pertunjukan ini mengangkat karya musik dari buku anak “Where is My Yellow Paint?” oleh Alicia De Silva Joyce, yang merupakan bagian dari proyek Arts For Good Grant dari Singapore International Foundation (2023). Sekitar 300 peserta menghadiri konser ini, termasuk para pendidik dan pengasuh yang aktif bertanya mengenai penggunaan musik dalam pendidikan anak-anak dengan spektrum autisme.


Salah satu momen paling berkesan adalah ketika dua grup musik tersebut menampilkan tiga lagu tanpa satu pun komunikasi verbal, hanya lewat harmoni instrumen. Penampilan ini bukan sekadar hiburan, tetapi menjadi simbol bahwa seni adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan, menciptakan ruang empati, dan mengangkat potensi setiap individu.

#simposium #pendidikan anak #fsrd