Mahasiswa ITB Kenalkan Pertanian Organik Terpadu, Atasi Kekeringan dan Kerusakan Tanah di Mandapajaya, Kuningan
Oleh Chysara Rabani - Teknik Pertambangan, 2022
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.
KUNINGAN, itb.ac.id - Menjawab tantangan kekeringan dan degradasi kesuburan tanah yang dihadapi para petani, 15 mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok 13 Kuliah Kerja Nyata Institut Teknologi Bandung (KKN ITB) 2025 mengimplementasikan program pertanian berkelanjutan di Desa Mandapajaya, Kabupaten Kuningan.
Kegiatan yang berlangsung dari 5 hingga 29 Agustus 2025 ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui solusi organik untuk memulihkan kesehatan tanah dan meningkatkan ketahanan panen.
Program ini diinisiasi setelah tim mengidentifikasi masalah krusial di Dusun Puhun, Kampung Salem. Para petani setempat menghadapi kegagalan tanam pada musim tanam ketiga akibat kekeringan ekstrem. Kondisi ini diperparah oleh penggunaan pupuk dan pestisida kimia tanpa takaran yang tepat selama bertahun-tahun yang mengakibatkan tanah menjadi kering, keras, hingga berkerak, serta tercemar residu kimia.
Menghadapi tantangan tersebut, mahasiswa merancang serangkaian program terpadu yang menyentuh empat aspek fundamental, yakni pemulihan tanah, diversifikasi tanaman, pengendalian hama alami, dan pengelolaan limbah pertanian.
.jpg)
Untuk mengembalikan unsur hara dan kegemburan tanah, mahasiswa memproduksi dan melatih warga membuat pupuk organik padat (45 kg) dan pupuk organik cair (24 liter). Pupuk padat berfungsi untuk memperkaya nutrisi tanah dalam jangka panjang, sementara pupuk cair berfungsi sebagai suplemen yang disemprotkan langsung ke tanaman.
Selain itu, mahasiswa memperkenalkan teknologi biochar dengan membuat tiga unit tungku pembakaran yang dimodifikasi. Alat ini secara efektif mengubah limbah pertanian kering seperti sekam padi dan sabut kelapa menjadi arang aktif yang sangat baik untuk menyuburkan dan menjaga kelembapan tanah. Ketiga alat tersebut kini ditempatkan di setiap RT di Kampung Salem untuk dapat dimanfaatkan secara komunal.
Untuk mengatasi serangan hama, mahasiswa melakukan sosialisasi dan memproduksi biopestisida (9 liter) yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti daun pepaya, bawang putih, dan bawang merah. Solusi ini menjadi alternatif yang lebih murah, mudah dibuat, dan ramah lingkungan dibandingkan pestisida kimia. Program ini dilengkapi dengan penanaman tanaman refugia di sekitar area sawah untuk mengusir hama secara alami dari tanaman utama.
Sebagai solusi langsung untuk masalah kekeringan, mahasiswa juga mendorong diversifikasi tanaman dengan memperkenalkan budidaya jagung dan talas, dua komoditas yang tidak memerlukan banyak air. Program ini secara khusus melibatkan Kelompok Wanita Tani untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ketahanan pangan desa.
.jpg)
Ketua Kelompok 13, Najwa Rumondang Nasution (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2023), mengungkapkan bahwa tantangan utama bukanlah pada aspek teknis, melainkan pada dinamika sosial. “Tantangan terbesar adalah menyelaraskan ritme kehidupan kami sebagai mahasiswa dengan jadwal dan kebiasaan masyarakat. Kami belajar untuk fleksibel dan mendengarkan, agar program yang kami tawarkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan waktu masyarakat,” tutur Najwa.
Respons masyarakat terhadap program ini sangat positif. Sebanyak 13 kelompok tani yang beranggotakan 17-30 orang per kelompok, serta 150 Kepala Keluarga di Dusun Puhun menerima manfaat langsung dari program ini.
“Masyarakat sangat antusias dan menganggap kami seperti keluarga. Karena kami satu-satunya kelompok bertema pertanian, mereka merasa program kami sangat relevan dan dibutuhkan,” ujarnya.
Selain program utama, mahasiswa juga aktif berbaur dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan, seperti menanam kangkung dalam pot botol bekas bersama 45 siswa SD, mengadakan pengajian rutin bersama ibu-ibu dan anak-anak TPQ, hingga turut memeriahkan perayaan 17 Agustus.
Bagi Kelompok 13, pengalaman KKN ini memberikan pelajaran berharga tentang makna kehidupan yang sederhana dan pentingnya memahami masyarakat secara mendalam. Ia berharap ilmu dan teknologi yang mereka perkenalkan tidak berhenti saat program KKN usai.
“Mungkin yang kami lakukan masih dalam skala kecil, berawal dari kelompok-kelompok tani. Harapan kami, ilmu ini bisa terus menyebar dari mulut ke mulut, dan alat seperti tungku biochar bisa menjadi contoh agar masyarakat dapat membuatnya sendiri. Semoga tanah di sini menjadi lebih sehat, hasil panen melimpah, dan pertanian di Desa Mandapajaya bisa lebih maju dan berkelanjutan ke depannya,” kata Najwa.
Reporter: Chysara Rabani (Teknik Pertambangan, 2022)






.jpg)
