Perjalanan M. Rifqi Ghifary, Ph.D. dari Rekayasa Hayati ITB Menuju Scientist Biologi Sintetik Dunia
Oleh Azka Zahara Firdausa - Mahasiswa Rekayasa Hayati, 2022
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.
JATINANGOR, itb.ac.id — Mohammad Rifqi Ghiffary, Ph.D., alumni Rekayasa Hayati, ITB, membagikan ilmu dan pengalaman sebagai peneliti biologi sintetik di instansi riset A*STAR pada mata kuliah Kapita Selekta Bioindustri pada Rabu (10/9/2025). Kegiatan ini dihadiri mahasiswa Rekayasa Hayati dan Rekayasa Pertanian yang memiliki ketertarikan pada bidang bioindustri.
Ghiffary menjelaskan mengenai biologi sintetik dan penerapannya, serta kaitannya dengan rekayasa metabolisme. Ia menjelaskan, biologi sintetik merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan prinsip biologi, teknik, dan ilmu komputer untuk merancang sistem biologi yang baru atau mendesain ulang sistem yang sudah ada menjadi lebih spesifik dan bermanfaat. Biologi sintetik dirancang dengan tujuan besar, yaitu merekayasa makhluk hidup untuk menjalankan fungsi baru untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia, seperti perubahan iklim, pemanasan global, keberlanjutan, hingga isu kesehatan dan pandemi.
Salah satu contoh yang menarik adalah penelitiannya berupa upaya produksi pewarna indigo berbasis hayati sebagai alternatif penggunaan zat pewarna kimia. Dalam penelitian terdahulu, senyawa indigo dapat diekstrak dari tanaman indigofera dengan bantuan protein triptofan, tetapi hasilnya masih cukup rendah dan biaya yang mahal. Sebagai alternatif, Ghiffary berhasil meningkatkan produksi senyawa serupa, yaitu indigodine, mencapai hingga 50 g/L dengan memanfaatkan bakteri Streptomyces lavendulae yang memiliki gen bpsA, pengkode enzim penghasil indigodine. Kemudian, gen tersebut diekstrak dan dipindahkan ke bakteri Corynebacterium glutamicum yang lebih mudah diproduksi dalam skala besar.
Publikasi penelitian ini membuka peluang besar dalam penerapan biologi sintetik pada industri. Teknologi pewarna berbasis hayati yang dikembangkan tidak hanya menawarkan performa produksi yang lebih baik, tetapi juga menarik perhatian sejumlah perusahaan tekstil dan fesyen yang ingin beralih ke material berkelanjutan. Dengan demikian, penelitian ini menjadi bukti nyata bahwa biologi sintetik berpotensi memberikan solusi inovatif terhadap tantangan industri sekaligus mendukung praktik yang lebih ramah lingkungan.

Perjalanan menuju posisinya saat ini tidaklah mudah. Ia sempat “banting setir” dari keilmuan teknik di Rekayasa Hayati ke arah yang lebih saintifik melalui studi S2 di bidang biologi molekuler. Ketertarikannya pada bidang ini berawal dari penelitian tugas akhir yang membuatnya melihat potensi besar biologi molekuler untuk riset dan industri. Setelah lulus dari Rekayasa Hayati, ia memperdalam pengetahuan dengan membaca berbagai literatur dan buku biologi molekuler hingga akhirnya melanjutkan studi S2 di Wageningen University.
Meski kini menekuni biologi sintetik, Ghiffary menegaskan tidak menyesal berkuliah di Rekayasa Hayati. Menurutnya, prodi ini membekali mahasiswa dengan ilmu lintas disiplin dan keterampilan yang sangat berguna. “Kalau harus diulang, saya tidak akan memilih jurusan lain seperti mikrobiologi atau biologi molekuler, tetapi saya akan tetap memilih BE,” ujarnya.
Selain kompetensi teknis, ia menekankan bahwa seorang peneliti perlu memiliki mindset ilmiah yang logis, kritis, dan sistematis, serta didorong oleh rasa penasaran untuk mengamati berbagai fenomena. Mindset inilah yang membuat peneliti dapat menghasilkan solusi nyata dari permasalahan di dunia. Dengan kombinasi ilmu biologi sintetik, rekayasa metabolisme, mindset ilmiah, dan strategi networking yang tepat, seorang peneliti berpeluang besar meniti karier di bidang ini pada level internasional.







