Prof. Irwan Meilano dan Kepala BPDLH Bahas Inovasi Pendanaan Bencana Pertama di Dunia

Oleh Erika Winfellina Sibarani - Mahasiswa Matematika, 2021

Editor M. Naufal Hafizh, S.S.

JAKARTA, itb.ac.id - Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (WRAM) ITB, Prof. Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc., bersama Kepala Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Dr. Joko Tri Haryanto, membahas inovasi pendanaan bencana dalam sebuah diskusi yang ditayangkan di , Rabu (1/10/2025).

Diskusi tersebut menyoroti urgensi penanganan risiko bencana di Indonesia yang semakin kompleks. Berdasarkan data historis, Prof. Irwan memaparkan adanya peningkatan dan pergeseran tren kebencanaan yang dipicu oleh perubahan iklim dan aktivitas manusia. Beberapa poin utamanya antara lain:

1. Jumlah sumber gempa teridentifikasi meningkat dari 280 pada tahun 2017 menjadi 400 sumber saat ini;

2. Banjir semakin meluas akibat curah hujan tinggi dan penurunan muka tanah (land subsidence), khususnya di kota besar seperti Semarang, Bandung, dan Jakarta;

3. Kebakaran hutan dan lahan, yang sebelumnya terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan, kini mulai merambah ke Pulau Jawa.

Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan membentuk dana bersama penanggulangan bencana atau Pulling Fund Bencana (PFB). Skema yang dikelola oleh BPDLH ini merupakan inovasi pembiayaan dan pengelolaan dana bencana pertama di dunia yang mengintegrasikan penghimpunan, pengembangan, dan penyaluran dana secara berkelanjutan.

Dr. Joko menjelaskan, BPDLH berperan sebagai pengelola dana abadi kebencanaan yang diinvestasikan untuk menghasilkan dana kelolaan sebagai sumber pembiayaan. "BPDLH bertugas memobilisasi dana dari berbagai sumber, baik APBN, internasional, bilateral, multilateral, filantropi, hingga sektor swasta," ujarnya.

Pof. Irwan menambahkan, meskipun konsep pulling fund sudah ada di negara lain, implementasinya di Indonesia harus direalisasikan secara berbeda. Menurutnya, pembiayaan risiko bencana harus disesuaikan dengan profil bencana negara yang sangat beragam.

“Dengan kondisi yang semakin menantang, kita harus punya berbagai strategi sesuai jenis bencananya. Bencana yang sering terjadi dengan potensi kerugian kecil mungkin bisa ditangani oleh APBN dan APBD. Namun, untuk bencana jenis lain, hal itu tidak memungkinkan karena kapasitas fiskal kita untuk dana cadangan bencana hanya berkisar 4 sampai 8 triliun rupiah. Sehingga, saya sangat setuju bahwa dana ini harus terus bertumbuh,” ujar Prof. Irwan.

Beliau mengatakan bahwa untuk mengantisipasi bencana besar yang dampaknya melebihi kapasitas APBN dan PFB, mekanisme transfer risiko seperti asuransi parametrik sedang dikaji. Skema ini menggunakan parameter pemicu (trigger), seperti skala intensitas gempa, untuk memungkinkan penyaluran dana yang cepat dan efisien. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan beban keuangan negara dan mempercepat proses pemulihan pascabencana.

#itb berdampak #kampus berdampak #itb4impact #diktisaintek berdampak #sdg 13 #climate action #sdg 17 #partnerships for the goals #sdg 9 #industry innovation infrastructure