Fenomena “Blood Moon” Hiasi Langit Indonesia, Ini Penjelasan Ahli Astronomi ITB
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
Dok.ITB/Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, M.T., Ph.D.
BANDUNG, itb.ac.id – Masyarakat Indonesia berkesempatan menyaksikan gerhana bulan total atau yang populer disebut Blood Moon pada Minggu malam hingga Senin dini hari (7-8/9/2025). Fenomena tersebut tampak jelas di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan bulan yang berubah menjadi merah gelap selama beberapa jam.
Guru Besar dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) sekaligus ahli astronomi, Prof. Taufiq Hidayat, Ph.D., menjelaskan bahwa Blood Moon merupakan istilah untuk gerhana bulan total, ketika bulan berada dalam bayangan bumi dan cahaya matahari tidak dapat mengenai permukaannya secara langsung.
“Gerhana bulan selalu terjadi saat purnama, ketika posisi matahari, bumi, dan bulan benar-benar segaris. Bumi berada di tengah sehingga cahaya matahari terhalang mencapai bulan. Namun, sebagian cahaya matahari yang melewati atmosfer bumi dibelokkan dan yang sampai ke bulan adalah bagian cahaya berwarna merah. Itulah yang membuat bulan terlihat merah darah,” jelasnya.
Ia menambahkan, intensitas warna merah pada gerhana bulan dapat berbeda-beda. Faktor utamanya dipengaruhi oleh kondisi atmosfer bumi. “Kalau atmosfer sedang banyak debu atau polutan, maka warna merahnya bisa lebih pekat. Jadi selain konfigurasi posisi benda langit, atmosfer bumi juga berperan penting,” ujarnya.
Menurut Prof. Taufiq, meski gerhana bulan terjadi berulang, durasi dan waktu kejadiannya selalu berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh orbit bulan dan bumi yang berbentuk elips, sehingga konfigurasi kesegarisan matahari–bumi–bulan tidak selalu sama. Gerhana kali ini berlangsung cukup lama, lebih dari lima jam sejak fase awal hingga berakhirnya totalitas.
“Tidak setiap purnama menghasilkan gerhana. Itu karena bidang orbit bulan dan bumi tidak selalu tepat berimpit. Maka ketika posisi segaris itu terjadi, barulah gerhana bisa diamati,” ungkapnya.
Fenomena Langit Lain di Bulan September
Selain Blood Moon, masyarakat juga sempat mengamati keberadaan planet Saturnus yang tampak berdekatan dengan bulan di langit. Menurut Prof. Taufiq, fenomena itu terjadi karena orbit planet-planet di tata surya berada di bidang yang hampir sama dengan orbit bumi, sehingga sesekali terlihat berkelompok atau berdekatan.
“Saturnus memang sedang berada di area langit yang tidak terlalu jauh dari posisi bulan. Tapi itu fenomena yang berbeda dengan gerhana. Meski begitu, tetap menarik untuk diamati,” katanya.
Di sisi lain, pada 21 September 2025 juga akan terjadi gerhana matahari parsial. Namun, fenomena ini tidak dapat disaksikan dari Indonesia. “Gerhana tersebut hanya bisa diamati dari wilayah selatan, terutama Selandia Baru,” jelas Prof. Taufiq.
Fenomena Alam yang Bisa Diprediksi

Dok.ITB/Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, M.T., Ph.D.
Prof. Taufiq menekankan bahwa gerhana, baik bulan maupun matahari, dapat diprediksi jauh hari sebelumnya karena mengikuti perhitungan astronomi yang presisi. Meski begitu, pengamatan langsung tetap penting dilakukan.
“Prediksi bisa sampai detik kejadiannya, tapi pengamatan tetap dilakukan untuk mengoreksi atau memverifikasi perhitungan. Itulah sebabnya gerhana selalu menjadi momen penting, tidak hanya bagi masyarakat umum tetapi juga bagi ilmuwan,” pungkasnya.








