Kebangkitan Gunung Hayli Gubbi: Ahli ITB Paparkan Risiko Gunungapi Dormant di Indonesia
Oleh Merryta Kusumawati - Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika, 2025
Editor Anggun Nindita
Ilustrasi gunungapi (dok.Pixabay)
BANDUNG, itb.ac.id – Dunia vulkanologi dikejutkan oleh letusan Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia yang kembali aktif setelah tertidur lebih dari 12.000 tahun. Fenomena langka ini menarik perhatian para peneliti, termasuk Dr. Eng. Ir. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., dosen Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia FITB ITB, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya SPITM, serta Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Ia memberikan penjelasan mengenai klasifikasi gunungapi serta potensi ancaman gunungapi dormant di Indonesia.
Tiga Kategori Gunungapi dengan Batasan yang Tidak Selalu Tegas
Menurut Dr. Mirzam, secara umum gunungapi dibagi menjadi tiga kategori: aktif, dormant, dan padam (extinct). Namun, ia menekankan bahwa batasan ketiganya tidak selalu mudah ditentukan.
“Klasifikasi ini kadang membingungkan dan tidak mudah dipahami secara tegas, terutama terkait batasan waktunya,” jelasnya.
Gunungapi disebut aktif apabila pernah meletus sejak periode Holosen (sekitar 11.650 tahun terakhir). “Ini tidak berarti gunungapi tersebut harus meletus sekarang, tetapi menunjukkan bahwa sistem magmanya masih relatif aktif dan berpotensi menghasilkan erupsi,” tambahnya.

Citra satelit menunjukkan abu vulkanik dari letusan gunung berapi Hayli Gubbi di Ethiopia yang melayang di atas Laut Merah, 23 November 2025. (NASA/Handout/Reuters)
Dormant: Tampak Diam, tetapi Berpotensi Kembali Aktif
Kategori kedua adalah gunungapi dormant, yakni gunung yang tidak meletus selama ribuan tahun tetapi masih memiliki potensi untuk kembali bangkit.
“Dormant digunakan untuk menyebut gunungapi yang beristirahat, meski tidak lebih dari 11.650 tahun yang lalu,” kata Dr. Mirzam.
Ia mencontohkan dua kasus penting:
-Gunung Sinabung yang kembali aktif pada 2010 setelah tidur lebih dari 400 tahun, dan
-Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia yang meletus setelah lebih dari 12.000 tahun dormansi.
“Keduanya menunjukkan bahwa gunungapi dormant dapat kembali meletus setelah istirahat panjang,” ujarnya.
Restless Volcano: Tidak Meletus, tetapi Magmanya Bergerak
Dalam kategori dormant, terdapat subjenis yang perlu diperhatikan, yaitu restless volcano, atau gunungapi yang tampak tenang tetapi memperlihatkan aktivitas magmatik di bawah permukaan.
“Kelompok ini menunjukkan tanda-tanda pergerakan magma di bawah permukaan meskipun tidak sedang meletus,” jelasnya.
Di Indonesia, subkelompok ini dikenal sebagai gunungapi tipe B, dan jumlahnya cukup banyak. “Setidaknya terdapat 30 gunungapi tipe B yang tersebar di Sumatra, Jawa, Bali–Nusa Tenggara, dan Maluku,” tambahnya.
Gunungapi Padam: Sistem Magma yang Telah Berakhir
Kategori terakhir adalah extinct, yaitu gunungapi yang sudah tidak memiliki pasokan magma aktif. “Gunungapi extinct merupakan gunungapi yang sistem magmanya telah padam atau berakhir,” jelas Dr. Mirzam.
Contoh gunungapi kategori ini antara lain Gunung Thielsen di Oregon dan Gunung Baluran di ujung timur Pulau Jawa.
Risiko Besar bagi Negara dengan 127 Gunungapi
Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunungapi terbanyak di dunia. “Sekitar 16% gunungapi dunia, atau 127 gunungapi, berada di Indonesia,” ujar Dr. Mirzam yang juga menjabat sebagai Scientific Advisor Global Volcano Risk Alliance.
Besarnya jumlah penduduk yang tinggal di lereng gunungapi ikut menambah kerentanan. Lebih dari 350 juta orang di dunia hidup dalam radius 30 km dari gunungapi aktif atau berpotensi aktif, dan 29 juta di antaranya berada kurang dari 10 km dari kawah.
Ia juga menyoroti minimnya sistem pemantauan global. “Kurang dari 50% gunungapi di dunia dilengkapi dengan pemantauan yang memadai,” ungkapnya.
Kasus letusan dahsyat El Chichón di Meksiko pada 1982 serta kebangkitan Sinabung menjadi pengingat bahwa gunungapi dormant pun dapat menimbulkan bahaya besar.
Belajar Hidup Harmonis di Ring of Fire
Menutup penjelasannya, Dr. Mirzam menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai dinamika gunungapi.
“Belajar, memahami, dan mengenal gunungapi adalah cara terbaik untuk hidup harmonis bagi kita yang tinggal di kawasan Ring of Fire,” ujarnya.







