Simposium Bandung Asia Afrika City Network: Profesor ITB Sampaikan Pentingnya Resiliensi Air dan Iklim Global
Oleh Ahmad Fauzi - Mahasiswa Rekayasa Kehutanan, 2021
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.
BANDUNG, itb.ac.id - Pemerintah Kota Bandung bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan Simposium Bandung Asia Afrika City Network, di Aula Barat, ITB Kampus Ganesha, Senin-Selasa (19-20/5/2025).
Pada hari kedua, Selasa (20/5/2025), terdapat sesi talkshow dengan salah satu pembicara, yakni Prof. Indratmo, M.Sc., Ph.D. dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Air (PPSDA) ITB, yang menyampaikan materi “Establish a Global Center of Excellence on Water and Climate Resilience”.
Beliau menyampaikan bahwa akhir-akhir ini terjadi banyak bencana hidrometeorologi di Indonesia. Salah satunya, bencana banjir yang melanda Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada 17 Mei 2025.
Maka dari itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berusaha mencapai ketahanan air (water resilience), dengan beberapa poin berikut: 1) Vision 2045, Achieving Water Security; 2) Establishment of a Global Center of Excellence on Water and Climate; 3) Climate Resilience Development Policy (2020–2045); 4) Strengthening Rural Water Supply Systems; 5) Revitalization of Critical Water Infrastructure; 6) Advanced Climate: Resilient Urban Sanitation.
Kebijakan dan strategi mitigasi Indonesia berangkat dari Paris Agreement, lalu dilanjutkan dengan Indonesia Net Zero Emission 2060, dan dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang.
Menurut Prof. Indratmo, perlu didirikan Global Center of Excellence on Water and Climate Resilience. “Sebuah Center dibutuhkan bertujuan sebagai platform strategis untuk mengintegrasikan sains, kebijakan, inovasi, dan kolaborasi untuk menjamin sistem air yang resilien pada perubahan iklim dan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Beliau mengungkapkan bahwa Kota Bandung memerlukan sebuah Urban Water and Climate Resilience Center. Salah satu program yang berkaitan dengan resiliensi air dan iklim adalah program Citarum Harum. “Program Citarum Harum dapat dikategorikan sebagai respons positif dari perubahan iklim, walaupun fokus utamanya adalah rehabilitasi sungai dan pengendalian limbah,” tuturnya.
Beliau juga menyebutkan kontribusi ITB dalam memperkuat resiliensi air dan iklim berupa berbagai inovasi, riset, dan community service yang dilakukan oleh sejumlah pusat/center di ITB, seperti Center of Infrastructures and Built Environment (CIBE) ITB, Center for Climate Change (CCC-ITB), Center for Water Resources Development ITB, Center for Remote Sensing ITB, dan Research Center of New and Renewable Energy (PPEBT-ITB). “ITB memiliki sekitar seratus research center, dan sekitar 40 persen di antaranya membahas tentang energi, perubahan iklim dan lainnya,” ujarnya.
Selain itu, Prof. Indratmo memaparkan salah satu pusat resiliensi air dan iklim pada tingkat nasional, yakni Badan Rehabilitasi Gambut dan Mangrove (BGRM) yang telah merehabilitasi ekosistem gambut dan mangrove dan mengurangi hotspot secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. “Jumlah hotspot dari tahun 2020 ke 2021 menurun signifikan dari 137 ke 17,” tuturnya.
Beliau menekankan pentingnya ekosistem gambut sebagai penyimpan cadangan karbon dan air, mengingat Indonesia adalah negara dengan ekosistem hutan gambut tropis terbesar di dunia. “Gambut dan dapat menyimpan banyak karbon, selain itu jumlah air yang disimpan oleh gambut lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di reservoir,” katanya.
Reporter: Ahmad Fauzi (Rekayasa Kehutanan, 2021)