Ahli ITB Ungkap Hubungan Kondisi Ekosistem Tesso Nilo dan Risiko Bencana Ekologis
Oleh Dina Avanza Mardiana - Mahasiswa Mikrobiologi, 2022
Editor Anggun Nindita
Ilustrasi gajah (Dok. Kementerian Pariwisata RI)
RIAU, itb.ac.id – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, merupakan salah satu lanskap hutan terpenting di Pulau Sumatra yang menjadi habitat utama Gajah Sumatra beserta fauna langka lainnya seperti Harimau Sumatra, beruang madu, macan dahan, dan tapir cipan. Namun, kawasan ini tengah menghadapi tekanan besar akibat perubahan habitat yang berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan berbagai aspek ekologis maupun sosial. Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Ekologi sekaligus Ketua Kelompok Keilmuan Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB), Prof. Dr. Tati Suryati Syamsudin, M.S., DEA
Prof. Tati menjelaskan bahwa persoalan kerusakan habitat gajah bukanlah isu baru. Perubahan lanskap hutan Sumatra telah terjadi secara perlahan dalam jangka waktu panjang, sehingga memengaruhi pola pergerakan gajah dalam mencari makan dan ruang jelajah. Sebagai satwa besar, gajah membutuhkan wilayah edar yang luas. Ketika ketersediaan pakan di dalam hutan menipis, gajah terdorong untuk bergerak lebih jauh dan mendekati kawasan yang bersinggungan dengan aktivitas manusia.
“Selama ekosistem hutan menyediakan ruang gerak dan makanan, gajah akan tetap berada di habitat alaminya. Namun jika makanan tidak tersedia, mereka akan mencari ke daerah lain,” ujar Prof. Tati.
Distribusi Gajah Sumatra semakin terpencar, termasuk di TNTN, Aceh Utara, Tangkahan di Sumatra Utara, serta di beberapa bagian di Provinsi Riau. Fragmentasi ini terjadi karena bentang hutan yang tidak lagi utuh, sehingga kelompok gajah harus berpindah mengikuti ketersediaan sumber daya.
Tekanan Lahan dan Potensi Konflik

Pakar Ekologi sekaligus Ketua Kelompok Keilmuan Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB), Prof. Dr. Tati Suryati Syamsudin, M.S., DEA.
Prof. Tati mengungkapkan bahwa penetapan TNTN sebagai taman nasional tidak lepas dari meningkatnya penggunaan lahan oleh manusia. Ketika perambahan manusia bertambah, ruang jelajah gajah menyempit dan meningkatkan potensi interaksi langsung dengan masyarakat sekitar. Karena gajah hidup berkelompok, pergerakan satu individu ke area pemukiman atau perkebunan dapat diikuti kelompok lainnya dan menimbulkan konflik.
Selain tantangan ekologis, permasalahan tata kelola lahan juga menjadi isu penting dalam upaya konservasi. Meskipun berbagai instrumen kebijakan telah disiapkan, implementasinya kerap menemui kendala akibat keterbatasan kapasitas serta dinamika sosial ekonomi masyarakat.
“Upaya penanganan kerusakan di Tesso Nilo tidak semuanya bisa tertangani walaupun pedoman regulasi sudah ada, namun instrumen yang tersedia belum cukup untuk menjangkau persoalan di lapangan,” kata Prof. Tati.
Sawit, Regulasi, dan Kompleksitas Lapangan

Ilustrasi gajah (Dok.Unsplash)
Sebagian wilayah TNTN kini telah ditanami sawit oleh masyarakat dan bahkan memasuki masa produktif. Kondisi ini membuat penertiban maupun pemulihan ekosistem menjadi semakin kompleks karena berhubungan dengan kebutuhan ekonomi warga.
“Bagaimana dengan area yang sudah ditanami sawit dan akan segera dipanen? Ini juga perlu menjadi perhatian,” ucapnya.
Konflik dapat muncul ketika masyarakat merasa dirugikan akibat pengembalian lahan ke kawasan konservasi, sementara terdapat klaim masyarakat bahwa lahan tersebut telah memperoleh izin. Dalam hal ini, Prof. Tati menekankan pentingnya kejelasan regulasi dan konsistensi pelaksanaan.
“Regulasi sebenarnya sudah ada, tetapi implementasinya tidak mudah. Seringkali petugas juga mengalami kesulitan, ketika masyarakat merasa dirugikan. Perlu kejelasan mengenai siapa yang memberikan izin, bagaimana aturannya, dan seperti apa mekanisme perjanjiannya yang mungkin tidak difahami oleh masyarakat yang berkegiatan di area tersebut. Belum lagi jika ada intervensi dari pihak atau oknum yang punya kepentingan dari TNTN,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pemulihan ekosistem memerlukan proses panjang dan tidak dapat dilakukan secara instan.
“Pemulihan ekosistem tidak bisa cepat. Reklamasi lahan bekas tambang saja baru menunjukkan hasil setelah lebih dari 15 sampai 25 tahun. Jadi memang tidak sesederhana itu," tuturnya.
Prof. Tati juga menyampaikan bahwa dinamika lingkungan di Tesso Nilo memperlihatkan betapa erat hubungan antara kesehatan ekosistem dan ketahanan wilayah terhadap bencana. Peristiwa banjir belakangan ini menjadi momentum untuk memperkuat upaya menjaga daya dukung alam dan mendorong pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Harapan dan Kolaborasi untuk Masa Depan Konservasi
Menurut Prof. Tati, upaya konservasi tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi antara pengelola kawasan, pemerintah, masyarakat lokal maupun pendatang, peneliti, dan organisasi nonpemerintah untuk membangun komitmen bersama menjaga keberlanjutan hutan.
“Peneliti tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada kerja sama antara pengelolaan hutan, pemerintah, masyarakat, dan mereka yang memiliki kewenangan regulasi,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya melibatkan masyarakat lokal melalui pendekatan yang relevan dengan kebutuhan dasar mereka, misalnya dengan menciptakan aktivitas yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
“Masyarakat lokal harus diajarkan arti konservasi. Mereka memiliki kebutuhan primer, sehingga harus ada aktivitas yang memberi manfaat langsung,” kata Prof. Tati.
Salah satu contoh keberhasilan adalah pengelolaan Tangkahan di Sumatra Utara, di mana komunitas lokal mampu mengelola hutan melalui ekowisata dan konservasi. Beliau juga menyoroti model pemberdayaan masyarakat berbasis riset seperti yang dikembangkan oleh Ibu Rahayu Oktaviani, penerima penghargaan Whitley Award 2025 atas dedikasinya dalam konservasi primata endemik Pulau Jawa, yaitu Owa Jawa.
“Contoh pengelolaan yang baik sudah ada. Tantangannya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya,” ujarnya.
Prof. Tati menegaskan bahwa konservasi di lapangan jauh lebih kompleks daripada pendekatan teoritis di laboratorium karena melibatkan komponen biologis, ekonomi, sosial, dan kebijakan yang saling terkait. Ia berharap pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan secara konsisten sesuai regulasi, serta masyarakat lokal semakin berperan sebagai mitra utama dalam menjaga kestabilan ekosistem.









